Sebentar lagi, negeri ini akan kembali diramaikan kontestasi politik Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) 2024-2029 secara serentak. Jelang pelaksanaannya yang konon bertajuk sebagai pesta demokrasi ini justru menyisakkan dinamika, berawal sejak penentuan bakal calon kepala daerah.
Untuk menentukan kandidat, tentu ada aktor elit politik, mereka rata-rata pemangku jabatan dan pemegang kendali partai. Namun sayangnya, sikap politik yang tidak memetakan kebutuhan rakyat dengan kepentingan pribadi acap kali melahirkan polemik.
Hampir sebagian, penentu kebijakan itu keliru menerbitkan rekomendasi mengusung cenderung faktor lain, tidak lagi berkiblat pada sosok yang seharusnya dinilai dari sumbangsih elektoral signifikan karena ketokohannya. Apalagi sosok yang dimaksud sebagai pemangku wadah tertinggi partai itu sendiri di daerah.
Contoh, yang terjadi di Provinsi Papua. Partai Golkar dengan mudahnya merubah rekomendasi bakal calon yang diusung jelang menit-menit akhir pendaftaran. Ada apa?
Drama yang belum lama ini terjadi membuat para tokoh di Papua “gerah” dan merespon perubahan situasi politik tersebut karena menganggap peta politik di Tanah Papua cenderung tidak dinamis. Para tokoh ini ialah pemuka agama dan adat.
Mereka menyayangkan sikap Partai Golkar yang terkesan janggal, setelah mencabut rekomendasi dari Komisaris Jenderal Polisi Purnawirawan Paulus Waterpauw, M.Si dan menyerahkan kepada kandidat lain. Sedangkan, eks Kapolda Papua dan Papua Barat ini sosok yang dirindui dan diharapkan memimpin masyarakat Papua umumnya.
Maka tidak salah jika disimpulkan ada permainan oknum-oknum yang tidak menginginkan sosok ini memimpin di atas tanah sendiri. Padahal sosok yang dicintai rakyat Papua ini figur paling tepat untuk melayani rakyat Papua.
Menurut Pendeta Jimmy Koirewoa, rakyat Papua sangat kecewa atas gagalnya Waterpauw maju sebagai calon gubernur Papua. “Rakyat Papua kecewa untuk kesekian kalinya, negara tidak menghargai jeritan hati orang Papua. Sampe kapan hati orang Papua terus disakiti?,” ucapnya.
Ia menegaskan, berkaitan kegagalan tersebut akibat dari pada penyelenggaraan tata kelola demokrasi di Indonesia yang tidak sehat. “Penerapan demokrasi yang dilakukan Partai Golkar justru mengancam sendi-sendi kehidupan berbangsa,” tegasnya menambahkan, sebab dengan sengaja menghambat langkah Waterpauw dimana sosok yang bersih, beretika, moral dan kepemimpinan. Karena ia-lah yang dibutuhkan masyarakat Papua hari ini.
Begitu juga disampaikan Pendeta Robert Nerotumilena, bahwa Waterpauw adalah simbol pemersatu dari semua etnis dan ras di tanah Papua, bukan saja orang asli Papua tapi juga warga pendatang.
Karena, menurutnya masyarakat Papua mengharapkan Waterpauw yang dapat menciptakan iklim perdamaian, dimana selama ia menjabat, Papua selalu kondusif, damai dan tenteram. “Kami semua sangat kecewa dengan kebijakan partai di tingkat pusat, dengan kepentingan mereka telah mengorbankan kepentingan rakyat Papua,” tukasnya.
Ia menambahkan, Waterpauw ialah sosok idola karena memiliki keunggulan sendiri, dimana bisa diterima seluruh generasi. Maka dengan dizolimi maka seluruh generasi ini turut kecewa.
Sementara, Pendeta John Leleuly menyampaikan kenapa harus Waterpauw yang menjadi Gubernur Papua? Karena dinilai sosok pemimpin yang taat beribadah.
“Waterpauw orang yang takut akan Tuhan dan rendah hati. Sejak dulu kami selalu berdoa dan bersyukur seorang Waterpauw yang disiapkan sebagai calon Gubernur, tapi tiba-tiba suasana politik berubah. Sehingga kami sangat kecewa,” tuturnya.
Namun, disisi lain ia menyampaikan Waterpauw harus tetap bersabar, sebab ada rencana indah dari Tuhan yang sudah dipersiapkan.
Kemudian, Pendeta Nastali Modouw menyoroti soal karir Waterpauw selama menjabat di Papua yang tidak cacat. Sukses dalam memimpin dari berbagai sisi, karena pria yang akrab disapa Kaka Besar tersebut sangat dihormati dan disegani.
“Dia sangat merakyat, maka rakyat Papua suka dan sangat menghormatinya. Lihat aja setiap ada konflik, kalau Waterpauw datang masalah langsung selesai dan kembali berdamai. Artinya beliau dapat menciptakan situasi dan kondisi dengan baik sehingga kondusif,” ungkap Pendeta sekaligus Ketua Umum Persekutuan Gereja-Gereja Wilayah Kabupaten Jayapura ini.
Menurutnya, Waterpauw adalah kader putra Papua terbaik dan layak memimpin Papua. Sayangnya, negara tidak menghargai pengabdiannya selama ini sebagai ujung tombak dan selalu berada di garis depan menyelesaikan berbagai peristiwa. “Kami senang dengan terpilihnya Pak Prabowo sebagai Presiden, maka kami titip anak Waterpauw untuk dihargai sebagai anak bangsa yang baik,” ucapnya.
Begitu juga Ketua Dewan Adat Papua (DAP) Wilayah Tabi, Uthate Yakonias Wabrar dengan tegas menyatakan bahwa negara tidak jeli menempatkan figur pemimpin di Papua. Sementara, Waterpauw telah memberikan kontribusi besar untuk negara selama berkarier di Papua. “Hanya ada dua sosok negarawan yang pantas memimpin Papua. Yaitu Barnabas Suebu dan Paulus Waterpauw adalah jejaknya. Kalau Barnabas Suebu bisa, kenapa Waterpauw tidak?,” katanya.
Lagi, kekecewaanya sangat terasa, sebab sesungguhnya Waterpauw ialah anak adat yang mewakili tujuh wilayah meliputi Tabi, Saireri, Domberai, Bomberai, Mepago, Lapago dan Animha.