Friday, July 5, 2024
HomeOpiniMemindahkan Ibu Kota, Penting atau Tidak?

Memindahkan Ibu Kota, Penting atau Tidak?

Oleh Boby Lukman Piliang

Jakarta – Tahun 1999 silam, Perdana Menteri Malaysia Dr. Mahathir Mohammad memindahkan pusat pemerintahan Malaysia dari Kuala Lumpur ke Putrajaya dengan alasan “KL” pada waktu itu sudah sangat macet dan padat. Trafik lalu lintas di kota besar yang sudah lama menjadi Ibukota Persekutuan Melayu itu sudah sangat menganggu aktivitas pemerintahan dan bisnis di Malaysia.

Mahathir sukses memindahkan pusat pemerintahan ke Putrajaya tanpa ada gejolak protes dan juga tidak ada pihak yang nyinyir. Ia melenggang memboyong segenap perangkat pemerintahan dan sampai saat ini semua berjalan baik-baik saja karena pada saat memindahkan pusat pemerintahan, Dr. M hanya memindahkan pusat pemerintahan tanpa menggeser pusat bisnis.

Hari ini, media massa kita ramai memberitakan terkait rencana pemindahan Ibu Kota Negara dari Jakarta ke Kabupaten Penajam Paser Utara yang merupakan salah satu daerah di Kalimantan. Bahkan nama untuk daerah yang menjadi Ibukota negara yang baru itu sudah disebutkan dan saat ini pembahasan di DPR RI kian mendekati penyelesaian dan penetapan RUU menjadi UU. Tentu menarik untuk dibahas. Jika dibandingkan dengan Malaysia, luas wilayah NKRI ini sangatlah luas.

Malaysia, untuk bagian semenanjung saja, yang meliputi beberapa negara bagian mulai Kedah di ujung utara yang berbatasan dengan Thailand dan Johor di ujung selatan yang berbatasan dengan Singapura tidaklah layak diperbandingkan dengan luas wilayah di Indonesia yang membentang dari Timur ke Barat.

Sejatinya tujuan utama pemindahan ibukota haruslah didasari pada bahwa pusat pemerintahan saat ini sudah tidak lagi bisa menampung dan menahan beban negeri yang kian berat.

Hal itulah yang dilakukan oleh Mahathir pada masa itu. Sehingga jika ditarik ke kondisi Jakarta saat ini, harus disadari bahwa situasi di Ibukota dan kemacetan yang sudah sedemikian parah dan serta faktor lain yang memperburuk keadaan bertumpuk harus dipikirkan suatu lokasi baru yang representatif.

Ide pemindahan Ibukota juga harus dimaksudkan untuk mengurangi beban Jakarta dan daerah sekitarnya agar tidak makin berat dan jenuh. Karena itu jikapun daerah yang dipilih bukan Kalimantan maka itu adalah sebuah keniscayaan.

Harus pula disadari bahwa pemindahan ibukota tidak akan membawa dampak buruk karena ide dasar pemindahan ini adalah untuk efisiensi dan efektifitas belaka. Pemindahan ibu kota tidak akan membawa dampak turunan seperti migrasi dalam jumlah besar besaran termasuk pada aparatur sipil negara dan pelaku bisnis.

Jika saat memindahkan ibukota dari KL ke Putrajaya, Mahathir memikirkan masak masak bahwa yang digeser ke Putrajaya hanyalah urusan administrasi pemerintahan, sementara urusan bisnis dan pusat kegiatan ekonomi tetapberada di KL.

Memang ada persoalan lain yang muncul dalam upaya pemindahan ibukota negara ini. masalah itu adalah jarak yang sangat jauh. Jika Malaysia memindahkan KL ke Putrajaya mudah dijangkau dalam waktu relatif singkat, maka tidaklah demikian dengan jarak dari Jakarta ke Kalimantan. Hal ini tentu harus dipikirkan masak masak oleh pemerintah.

Sejauh ini penelitian dan kajian yang dilakukan guna memperkuat argumen perlunya memindahkan ibukota itu belum terpublikasi dengan baik. Yang terjadi saat ini adalah adu opini yang justru dilakukan oleh pihak yang tidak berkepentingan dan kredibel.

Meski ada riset yang sudah dilakukan terkait pemindahan Jakarta sebagai pusat pemerintahan atau bisnis, namun hal itu belum sepenuhnay dibahas secara komprehensif dan melibatkan semua stakeholder secara mendalam. Pemindahan Ibukota negara ini juga terkesan dipaksakan, apalagi ditengah pandemi Covid19 yang masih belum tentu kapan akan berakhir. Pemerintah semestinya memprioritaskan penggunaan dan pemanfaatan anggaran untuk mengembalikan gairah perekonomian masyarakat yang melesu sejak dua tahun terakhir. Alangkah bijak dan tepatnya juga pemerintah menggelar public hearing dengan segenap pemangku kepentingan terkait manfaat dan mudarat pemindahan ibukota negara tersebut.

Hari ini, perdebatan terkait rencana pemindahan Ibukota Negara dari Jakarta ke Kalimantan Timur semakin tidak subtantif. Pembicaraan dan pembahasan baik di kalangan elit maupun masyarakat umum semakin bergeser dari isu yang seharusnya dibahas semisal berapa biaya dan darimana sumber pembiayaannya. Bahkan lebih parah lagi, sesaat sebelum RUU IKN disahkan menjadi UU IKN di Sidang Paripurna DPR RI pada hari ini (18 Januari 2022) pembahasan makin melebar ke nama Ibukota negara ini dengan penggunaan kata “Nusantara” yang ditentang banyak khalayak termasuk di menjadi pembahasan di media sosial.

Kata “Nusantara” yang diusulkan dan ditetapkan oleh Presiden Joko Widodo dianggap terlalu Jawa Sentris dan tidak sesuai. Entah darimana datangnya kata itu, akan tetapi karena disampaikan oleh Presiden Jokowi, maka khayalak langsung bereaksi. Pro dan kontra menghiasi ranah sosial media dan semua jadi ikut berpendapat.

Saya menilai perdebatan terkait pemindahan ibukota ini makin tidak subtantif dan bias kemana mana. Sudahlah uangnya ndak tahu darimana akan dianggarkan, lalu muncul pula soal kata “Nusantara” yang menurut saya tidak pas. Kenapa tidak memakai nama asli daerah saja, sebab dengan demikian akan jauh lebih netral dan dapat diterima.

Bukankah semestinya kita berdebat seberapa perlunya dilakukan pemindahan ibukota negara pada saat masyarakat masih harus berjuang bangkit dari keterpurukan ekonomi pasca pandemi Covid19 dengan berbagai varian yang terus menghantui kesehatan dan gerak langkah hidup mereka.

Lagipula memindahkan ibukota tidaklah mudah dan gampang, ia membutuhkan regulasi dan aturan serta mematuhi mekanisme yang berlaku. Presiden tidak cukup hanya sekedar pamit ke MPR dalam sidang tahunan semata. Ia harus menyertakan alasan dan dukungan penuh dari rakyat.

BERITA LAIN

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

- Advertisment -

Most Popular

Recent Comments