Sebenarnya Pilpres 2019 kemarin tidak akan seheboh dan menelan korban jiwa jika saja pada awal penyusunan Undang-undang Pemilihan Presiden yang dibahas pada tahun 2017 sampai 2018 silam para anggota DPR RI yang terhormat mau meluangkan waktu dan mendengarkan suara rakyat yang menolak pemberlakuan Presidential Threshold 20 persen itu. Namun sebagaimana kita tahu kemudian, ditengah protes dan penolakan itu pulalah kemudian DPR mengesahkan UU Pilpres tanpa sedikitpun memperhatikan penolakan ramai tersebut.
Puluhan artikel dan juga pendapat telah disampaikan kepada anggota DPR bahwa pemberlakuan Presidential Threshold 20 persen itu tidak masuk akal dan mencederai demokrasi. Namun apa lacur, bahkan ketika digugat ke Mahkamah Konstitusi-pun, kesembilan Hakim MK menolak gugatan itu dengan alasan gugatan yang diajukan oleh Koalisi masyarakat sipil yang menjadi pemohon tidak memiliki dasar untuk mengajukan gugatan.
Itulah drama demokrasi yang terjadi pada tahun 2019 silam. Kini, nasipun sudah menjadi bubur, untuk Pilpres dan Pileg berbiaya puluhan Trilyun Rupiah itu, hasilnya sudah sama sama kita ketahui. Komisi Pemilihan Umum (KPU RI) telah mengeluarkan penetapan bahwa pemenang Pilpres saat ini adalah Pasangan Joko Widodo – Ma’ruf Amin. Jokowi, kembali mengalahkan pesaingnya di tahun 2014 silam Prabowo Subianto yang kini maju bersama anak muda Sandiaga Uno.
Sebagaimana disampaikan para pengamat, meski Prabowo menggugat ke MK dan mengajukan keberatan ke Bawaslu, ia tetap tidak akan bisa membalikkan keadaan dan membuat penetapan KPU itu dibatalkan. Sebab, dari sekian banyak alat bukti yang diajukan ke MK, hampir sebagian besar dianggap lemah. Terbukti kemudian, Prabowo kembali kalah di Pilpres.
Saya kembali ke awal tulisan. Dalam bahasa sederhana penyebab kisruh Pilpres ini adalah UU Penyelenggaraan Pemilu Presiden yang menetapkan syarat pencalonan presiden. Tentu masih segar dalam ingatan kita, pada saat itu, fraksi fraksi besar yang tergabung dalam koalisi pemerintah Joko Widodo cenderung mempertahankan syarat pencalonan seperti diatur dalam UU Pemilu Presiden sebelumnya, 20% suara sah nasional atau 25% kursi DPR.
Hal ini ditentang oleh koalisi oposisi plus Fraksi Partai Demokrat dengan alasan UU dan Threshold tersebut tidak relevan ditetapkan karena Pilpres dan Pileg tahun 2019 diselenggarakan pada saat bersamaan, sehingga ambang batas parlemen menjadi tidak relevan diterapkan.
Namun suara oposisi jelas kalah dibanding suara koalisi pemerintah di parlemen. Sehingga berteriakpun sampai ke MK, hal itu justru tidak membuahkan hasil. Pakar Hukum Tata Negara Irman Putra Siddin menyebut kesalahan ini sudah sejak awal bisa diprediksi karena aturan pelaksanaan Pemilu tidak diatur dalam ranah konstitusi. Sehingga ketika disusun rentan digugat dan rentan pula dimentahkan.
Pilpres dan Pileg 2019 seperti yang kita saksikan bersama sama, memang berlangsung ditengah pertikaian dua kubu koalisi yang sarat dengan penggunaan isu politik Identitas. Koalisi Prabowo yang dimotori oleh tokoh tokoh Partai Gerindra, PKS dan PAN didukung oleh kelompok Alumni Aksi Bela Islam 212. Sadar atau tidak, isu isu keagamaan mengalir deras melawan Koalisi Jokowi yang disebut sebagai rezim yang tidak bersahabat kepada kelompok Islam.
Narasi Politik Identitas ini jelas tidak bisa dihindari ditambah kedua kubu memang merasa nyaman penggunaan isu politik yang membahayakan persatuan itu. Kita dapat dengan mudah menemukan berbagai terminologi-terminologi Islam dimanfaatkan termasuk Istilah jihad.
Jika saja pada saat penyusunan UU Pilpres para anggota DPR mau sebentar saja mendengarkan aspirasi dan suara protes, tentulah kisruh politik ini bisa dihindari atau setidaknya di minimalisir. Namun apa daya kini, yang terjadi adalah teriakan dan ajakan untuk turun ke jalan karena tak terima dengan kekalahan yang dikemas sebagai aksi Kedaulatan Rakyat. Hal yang menakutkan untuk terus dibiarkan.
Oleh Boby Lukman Piliang
Praktisi Media